Alkisah, di tepi sebuah hutan, ada sekawanan monyet melihat pasukan berkuda melintas di depan mereka. Menyaksikan kegagahan para prajurit berkendara di atas pelana kuda, seekor monyet pun menyombongkan diri bahwa menunggang kuda itu masalah mudah!
Untuk membuktikan perkataannya, saat pasukan berkuda istirahat, si monyet mengendap-endap mendekati seekor kuda di sana. Hup! Dengan lincah, si monyet naik ke atas punggung kuda.
Kuda yang merasakan hentakan berat di atas punggungnya, terkejut. Ia juga merasa kesakitan karena tarikan erat pada surainya. Maka, ia pun segera meringkik, berlari kencang, sambil menggoyangkan liar badannya ke kiri dan ke kanan. Monyet yang tidak bisa mempertahankan keseimbangan badannya, terpelanting dan jatuh ke tanah dengan keras.
Hewan-hewan lain di hutan, ramai menertawakan kebodohan si monyet. Monyet pun tertunduk malu sambil menahan rasa sakit yang menjalari tubuhnya. Ternyata menunggang kuda tidak semudah yang ia kira!
Katanya, "Kapok deh. Cukup sekali saja aku menunggang kuda! Ternyata tidak sehebat dan seenak yang aku bayangkan. Memang sudah menjadi nasibku, aku tidak akan menunggang kuda lagi seumur hidupku. Aku tidak mau mengulangi lagi kesalahan yang sama."
Saat itu, monyet yang tertua di kelompoknya menjawab, "Jatuh memang menyakitkan, tetapi bukan berarti di kemudian hari kamu tidak akan jatuh lagi, entah dari pohon dan darimana pun. Yang perlu ketahui dan dipelajari adalah mengapa kamu jatuh? Jika kita mau belajar untuk tahu kenapa bisa jatuh, maka kita tidak perlu mengulangi kesalahan yang sama di kemudian hari."
Dari cerita ini kita dapat belajar bahwa kesombongan mendahului sebuah kehancuran, karena itu Tuhan sangat membenci orang yang congkak. Hargailah sebuah proses dan jadikanlah pengalaman sebagai guru yang terbaik, selain itu libatkanlah Tuhan dalam segala tindakan Anda agar Anda tidak salah langkah.
Sumber : andriwongso.com